skip to main | skip to sidebar

Pages

Sunday, December 19, 2010

Menggagas Pendidikan Anti Korupsi

Oleh : Mendra Wijaya

KabarIndonesia - Seringkali menjadi pertanyaan bagi kita tentang kapan persoalan korupsi di negeri ini akan berakhir? Dari satu kasus ke kasus lain seolah tidak pernah terselesaikan, seperti mata rantai yang tidak pernah putus. Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia sudah sangat akut, setiap tahun kian bertambah.  Bahkan sering kita mendengar ketika pembicaraan tentang peringkat, Indonesia selalu menjadi negara terkorup di dunia. Tahun 2009 Indonesia berada di peringkat 126 negara terkorupsi di dunia dengan Indeks Prestasi Korupsi (IPK) sebesar 2,6. Dalam survei Political & Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, Indonesia dianggap sebagai negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi. Bahkan Indonesia dijuluki juara korupsi se-Asia Fasifik. Sebagai peringkat pertama, Indonesia mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun lalu. Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang, Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang paling bersih.

Maraknya pemberitaan tentang pengusutan koruptor hingga pembebasan koruptor dengan memberikan grasi sebagai hadiah. Jika dilihat dari sudut pandang kekuasaan, korupsi cenderung membentuk seperti karakter, watak. Bahkan menjadi semacam kromosom dalam genetika pada penguasa yang menggurita memangsa dengan kekuasaan yang ia miliki.
Corruption is a behavior which deviates from the formal duties of a public role because of private regarding (personal, close family, private clique) pecuniary status gains, or violates rules against the exercise of certain type of private regarding influence. This include such behavior as bribery (use of reward to pervert the judgement of a person in a position of trust); nepotism (bestowal of patronage by reason as ascriptive relationship than merit); and misappropriation (illegal appropriation of public resources for private-regarding uses).
Demikian Joseph Nye dalam Corruption and Political Development: A Cost-Benefit Analysis, American political science review, Vol. 61, No. 2, June 1967. Bahkan di dalam Banjarmasin Post (4/9) memuat pemberitaan dengan judul watak korupsi vs budaya permisif. Senarai dalam tulisan tersebut mengatakan ketika publik tidak lagi permisif, maka publik adalah kekuatan penekan untuk mendobrak praktik kotor korupsi. Tertanam di benak kita tentang apa yang dikatakan oleh Lord Acton: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.

Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Kata Inggris corrupt berasal dari bahasa Latin corrupt (us), berarti broken in pieces (Ndraha, 2005 : 110). Kata itu terjadi dari dua akar kata cor- dan rupture. Cor- artinya with, dan rupture itu berarti the act of breaking or bursting. Corruption diartikan sebagai the act of corrupting, the state of being corrupt.

Kata corruption berkaitan dengan kata eruption, letusan, ledakan, karena jalan yang hendak dilalui, terlarang, tersumbat atau terhalang karena jalan itu merugikan fihak kedua atau pihak ketiga secara tidak sah, langsung ataupun tidak langsung. Namun fihak pertama memiliki motif, kekuatan, dan kesempatan, dan kesempatan, untuk memaksakan kehendaknya atau menggelapkan caranya, baik secara halus maupun kasar, tersembunyi ataupun terang-terangan.

Semua bentuk pemerintahan rentan dengan praktek korupsi politik. Derajatnya-pun bervariasi, hingga akhirnya membentuk point akhir korupsi politik adalah kleptokrasi. Robert Klitgaard dalam Cleaning Up and Invigorating the Civil Service (World Bank Operations Evaluation Department, November 1996), mengatakan C = D + M - A, atau C (corruption) = M (monopoly) + D (discretion) - A (accountability). Artinya: The dynamics of corruption in the public sector can be depicted in a simple model. The opportunity for corruption is a function of the size of the rents under a public official's control, the discretion that official has in allocating those rents, and the accountability that official faces for his or her decisions.
Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus, politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dimensi Korupsi

John Girling dalam Corruption, Capitalism and Democracy (1997) memberikan dimensi-dimensi analitis yang dapat dipergunakan. Dimensi-dimensi itu adalah:
a) Insidental-Individual, Korupsi insidental/individual ini dilakukan oleh si pelaku secara individual pada suatu lingkungan/lembaga tertentu di mana sebenarnya lembaga tersebut relatif termasuk ‘bersih’ dalam hal korupsi.
Korupsi semacam ini hanya dikenal pada negara-negara dengan tingkat korupsi yang sangat rendah misalnya Selandia Baru, Denmark, dan Swedia.
b) Institusional-Kelembagaan, Korupsi disebut institusional apabila melanda suatu lembaga atau suatu sektor kegiatan tertentu dimana sebenarnya keseluruhan sektor atau lembaga secara lebih luas tidak korup.
c) Sistemik-Sosial, pada kasus semacam ini korupsi sudah menyerang seluruh lapisan masyarakat serta sistem kemasyarakatan. Karena dalam segala proses kerja sistem dari masyarakat, korupsi menjadi rutin dan diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi sehari-hari. Hal semacam ini disebut korupsi sistemik. Karena sudah mempengaruhi secara kelembagaan dan mempengaruhi tingkah laku individu pada semua tingkatan sistem politik, sosial, dan ekonomi.

Berbagai macam pendekatan dan pencegahan yang dilakukan untuk meminimalisasi-kan praktek korupsi, dimulai dari aspek reformasi birokrasi, reformasi administrasi, supremasi hukum, pendekatan teologis dan dari berbagai macam aspek. Tetapi semua hal tersebut berlalu begitu saja, seolah manusia (”pelaku korupsi/ penguasa”) tidak takut lagi akan penegakan hukum dan yang lebih memprihatinkan adalah ketidaktakutan terhadap aspek keagamaan yang telah menjadi nilai mutlak untuk menjauhi perbuatan merugikan masyarakat banyak. Bahkan kita dapat menyaksikan ketika koruptor ditangkap akan lebih banyak bertaqwa dan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berlaku sedih, dan total menyerahkan diri kepada sang khaliq selain dari keputusan hukum. Slamet Raharjo pernah mengatakan dalam suatu dialog di stasiun teve nasional, bahwa rekan-rekan yang beliau kenal (dalam hal ini pejabat yang menjadi tersangka korupsi) adalah orang-orang yang ibadahnya sangat taat.
Praktik korupsi seperti suap-menyuap agar mempermudah suatu urusan, gratifikasi rentan terjadi pada birokrasi, padahal cita-cita dan semangat clean goverment dimulai dari reformasi birokrasi belum mendapatkan titik terang. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seakan terabaikan serta lembaga superbody yang bernama KPK-pun kewalahan menangani wabah yang satu ini, hingga suatu saat lembaga ini pula yang dikriminalisasikan.

Bisa saja seandainya kita menganalogikan, korupsi adalah patologi atau penyakit genetika, bersifat keturunan yang lambat laun membentuk suatu budaya koruptif di tengah kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan dalam tulisan Anwariansyah, Antropologi Budaya Korupsi di Indonesia, 22/07/2008 (www.wikimu.com) mengatakan, korupsi sebagai faktor penghambat pembangunan dan kemajuan bangsa sudah saatnya dibedah dan diteliti dengan seksama, baik asal muasalnya atau pun penyebarannya.

Bisa jadi sifat korupsi sudah membentuk gen tersendiri sehingga diperlukan juga pakar biologi molekuler untuk turut mengungkap dan mengetahui sifat korup dari akarnya (sifat bawaan).

Kurikulum Pendidikan Antikorupsi

Beberapa waktu lalu Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Nasional untuk merumuskan kurikulum pendidikan antikorupsi. Kemungkinan dari program ini adalah harapan untuk mendidik dan melahirkan para pelajar yang bebas dari pembusukan zaman dari wabah korupsi.

Sasaran program ini adalah pendidikan antikorupsi sejak dini, apalagi fenomena pendidikan sering terjadi korupsi kecil bernama mencontek. Kemungkinan hal ini dilakukan sesuatu dengan pengertian korupsi diatas. Yaitu kata corruption berkaitan dengan kata eruption, letusan, ledakan, karena jalan yang hendak dilalui, terlarang, tersumbat atau terhalang, karena jalan itu merugikan pihak kedua atau pihak ketiga secara tidak sah, langsung ataupun tidak langsung. Praktik menyontek sama dengan jalan yang hendak dilalui, terlarang, tersumbat atau terhalang sehingga menyontek adalah sifat dari korupsi itu sendiri.

Pemerintah diminta memperhatikan pencegahan dengan memperbaiki sistem birokrasi dan menghilangkan pikiran dan niat koruptif sejak dini, demikian komentar Eko Soesamto Tjiptadi, Deputi Pencegahan KPK dalam artikel Kurikulum Pendidikan Korupsi Segera Lahir? (Republika, 13/09/2010). Eko menilai, pembentukan karakter anak bangsa merupakan hal yang sangat penting. Mendiknas memprediksikan (Republika, 06/09/2010) hasil dari program pendidikan ini akan tampak hasilnya pada 10 sampai 15 tahun yang akan datang.

Paulus Marijan dalam Pendidikan Antilkorupsi (www.kabarindonesia, 20/12/09) mengatakan, koruptor itu umumnya dari kalangan berpendidikan.  Mereka adalah produk dari lembaga dan institusi pendidikan di Indonesia. Tak mungkin memberantas korupsi secara seketika dengan hukuman tapi butuh proses yang panjang. Salah satu cara paling efektif adalah dengan menanamkan budaya antikorupsi pada anak di usia dini. Korupsi berkaitan dengan attitude, sikap atau kelakuan.

Pendekatan ini sesuai dengan apa yang dikembangkan Benjamin S. Bloom pada tahun 1965 yang kita kenal dengan Taksonomi Bloom, taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. 

Ranah dan domain dari taksonomi tersebut dirinci menjadi:
(1) Ranah Kognitif, yang menekankan perilaku dalam aspek intelektual dan keterampilan berpikir;
(2) Ranah Afektif, yang menekankan aspek sikap, apresiasi, emosi dalam berperilaku;
(3) Aspek psikomotorik, menekankan kepada keterampilan motorik dalam berperilaku. Seorang anak ibaratnya tabula rasa, belajar dari aspek empiris, menjadi hitam jika diwarnai hitam, dan menjadi putih jika diwarnai putih.

Menyontek adalah sesuatu yang dianggap masalah kecil tetapi membawa dampak yang besar di kemudian harinya karena menyontek adalah salah satu entitas perilaku serta kesalahan ekspresi mental seseorang.

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto mengatakan akan lebih efektif dan efisien jika kurikulum anti korupsi yang diusulkan Kemdiknas diintegrasikan dengan mata pelajaran lain yang sudah ada sebelumnya, mengingat terlalu banyak mata pelajaran bagi siswa yang ditakutkan akan menjadi beban bagi siswa. (Kompas, 2011, Kurikulum Anti Korupsi Diterapkan, 20/9/2010). 

Beliau juga mengusulkan agar kurikulum anti korupsi dijadikan topik khusus dari beberapa mata pelajaran terkait. Misalnya, mata pelajaran Agama, Matematika, Sejarah, dan PPKN. Dalam pelajaran itu, bisa diajarkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, dan kecermatan yang bisa diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari siswa. Maka dimulai dari hal yang kecil adalah akan membawa perubahan besar dalam kehidupan pendidikan.

Harapan kita semoga kurikulum pendidikan anti korupsi ini dapat mewarnai kebaikan dan kejujuran dalam diri pelajar negeri ini, serta semoga dengan adanya kurikulum ini secara tidak langsung dapat membentuk genetika baru manusia Indonesia yang terbebas dari patologi korupsi. (*)

Mendra Wijaya, M.Si, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta

Dari : http://www.kabarindonesia.com

Artikel Terkait

0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...