ABSTRAK
Pendidikan karakter marak menjadi perbincangan di Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Hal tersebut berkaitan dengan menurunnya moral dan nilai yang dialami oleh peserta didik dan lulusan sebagai output pendidikan Indonesia. Pada prinsipnya pendidikan karakter di Indonesia sudah dilakukan sejak zaman Ki Hajar Dewantara, tetapi kemudian tergerus dengan adanya nilai-nilai modern yang masuk dengan begitu derasnya, termasuk dalam bidang pendidikan di Indonesia. Karena itulah, pendidikan karakter sekarang ini masih dipandang sebagai wacana dan belum menjadi bagian yang terintegrasi dalam pendidikan formal, padahal pendidikan di Indonesia sudah memiliki mata pelajaran pancasila, kewarganegaraan, budi pekerti, dan sejenisnya.
Makalah ini membahas tentang pentingnya pendidikan karakter di Indonesia, terutama dalam menghadapi ide dan arus globalisasi. Indonesia membutuhkan lulusan-lulusan pendidikan yang tidak hanya kompeten namun juga berkarakter agar bangsa Indonesia tetap menunjukkan karakternya dalam kancah persaingan internasional. Salah satu yang dapat dilakukan dalam pendidikan karakter adalah penggalian nilai-nilai kearifan lokal. Salah satunya melalui tembang-tembang macapat yang telah terkenal memiliki pesan dan nilai kehidupan yang agung. Pengintegrasian nilai-nilai di dalamnya dalam pendidikan di Indonesia akan membuat anak didik memiliki karakter sekaligus menunjukkan kepribadian bangsa. Hal tersebut akan membuat keluaran pendidikan Indonesia memiliki kompetensi yang cukup, bukan hanya dalam kecerdasan kognitif, melainkan juga kecerdasan emosi. Guru sebagai pendidik dan pengajar memiliki peran penting dalam pelaksanaan pendidikan karakter tersebut.
Kata kunci: pendidikan karakter, tembang macapat, globalisasi.
Pendahuluan
Pendidikan dipandang sebagai faktor strategis dalam menciptakan kemajuan sebuah bangsa. Pendidikan yang berkualitas akan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu dengan indikator berkualifikasi ahli, terampil, kreatif, inovatif, berkualitas, produktif, serta memiliki attitude (sikap dan perilaku) yang positif. Dewasa ini, pendidikan karakter marak dibicarakan oleh berbagai kalangan, terutama stakeholder yang berkecimpung pada ranah pendidikan. Pendidikan karakter dianggap dapat menjadi solusi yang solutif untuk menanggulangi kemorosotan moral dan nilai yang sekarang ini banyak dialami oleh peserta didik.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Survei di lapangan membuktikan bahwa kecerdasan otak seorang peserta didik tidak selalu menjadi tolok ukur utama yang mampu menunjukkan keberhasilan seorang peserta didik dalam bidang akademis. Faktor lain yang sangat memengaruhi keberhasilan peserta didik adalah faktor karakter. Karakter tersebut dapat tercermin dalam rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman dalam Williams, Russel T. dan Ratna Megawangi (2010: 1) tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, minuman keras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Salah satu budaya yang memiliki kearifan lokal yang dapat digunakan untuk membentuk karakter peserta didik adalah tembang macapat yang berasal dari masyarakat Jawa. Penggalian dari nilai-nilai yang terdapat dalam tembang macapat tentu saja untuk ditujukan kepada peserta didik yang berdomisili dan menikmati pendidikan di daerah Jawa. Hal tersebut karena pada prinsipnya pendidikan karakter tetap harus memerhatikan konteks dan lingkungan peserta didik. Jadi, tidak ada pemaksaan bahwa satu nilai ini dapat digunakan di seluruh daerah di Indonesia.
Pembacaan tembang-tembang macapat disebut dengan kegiatan macapatan. Macapatan merupakan kegiatan seni tradisi yang cukup popular, terutama di kalangan masyarakat Jawa. Selain tidak membutuhkan sarana dan prasarana yang kompleks, macapatan juga bisa menjadi ajang hiburan dan silaturahmi di kalangan masyarakat. Teks yang dikembangkan dalam tembang macapat merupakan teks pilihan yang mengandung nilai-nilai budi pekerti dan kearifan lokal yang masih relevan hingga saat ini. Jika makna yang terkandung dalam syair tersebut dikaji dan dipahami secara mendalam, apalagi disampaikan melalui lembaga pendidikan dengan cara yang tepat akan dapat menjadi tambahan ilmu dan membentuk kepribadian peserta didik untuk menjalani proses kehidupan selanjutnya. Lebih lanjut, lulusan pendidikan Indonesia akan dapat menjawab tantangan zaman untuk bersaing dalam kancah internasional.
Pembahasan
Karakter seorang individu terbentuk sejak dia kecil karena pengaruh genetik dan lingkungan sekitar. Proses pembentukan karakter, baik disadari maupun tidak, akan mempengaruhi cara individu tersebut memandang diri dan lingkungannya dan akan tercermin dalam perilakunya sehari-hari. “Character determines someone’s private thoughts and someone’s actions done. Good character is the inward motivation to do what is right, according to the highest standard of behaviour, in every situation” (Hill, 2002).
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karakter yang menjadi acuan seperti yang terdapat dalam The Six Pillars of Character yang dikeluarkan oleh Character Counts! Coalition (a project of The Joseph Institute of Ethics) dalam Wanda Krisiana (2005: 84). Enam jenis karakter yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi berintegritas, jujur, dan loyal.
2. Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain.
3. Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar.
4. Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain.
5. Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam.
6. Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.
Sampai saat ini, pelaksanaan pendidikan karakter ini masih banyak dilakukan pada taraf jenjang pendidikan prasekolah (taman bermain dan taman kanak-kanak). Sementara pada jenjang sekolah dasar dan seterusnya masih sangat-sangat jarang sekali. Kurikulum pendidikan di Indonesia masih belum menyentuh aspek karakter ini. Meskipun terdapat mata pelajaran pancasila, kewarganegaraan, dan sejenisnya, tetapi mata pelajaran tersebut masih diberikan sebatas teori dan tidak dalam tataran aplikatif. Padahal jika Indonesia ingin memperbaiki mutu SDM dan segera bangkit dari ketinggalannya, maka Indonesia harus merombak sistem pendidikan yang dimiliki saat ini.
Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain itu Daniel Goleman dalam Williams, Russel T. dan Ratna Megawangi (2010: 1) juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun masalah lain muncul karena kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan yang ramai diperbincangkan.
Pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah dan lembaga pendidikan yang lain dapat dilakukan dengan menggali nilai-nilai kearifan lokal. Hal tersebut dilakukan karena dalam jangka panjang, pendidikan karakter yang dilakukan diharapkan dapat memberi dampak yang positif pula dalam perkembangan bangsa Indonesia selanjutnya. Peserta didik yang memiliki karakter akan menjadi lulusan atau output pendidikan yang berdaya saing, baik dalam skala nasional maupun internasional. Adanya globalisasi dengan segala macam arus ide yang membanjiri dan memasuki setiap bidang kehidupan tentu membutuhkan tameng yang tepat. Pendidikan karakter dengan penggalian nilai-nilai kearidan lokal ini dapat menjadi langkah bijaksana agar bangsa Indonesia tetap tidak kehilangan karakter bangsa dengan keanekaragamannya.
Bertolak dengan peningkatan mutu pendidikan tersebut sekaligus untuk memunculkan generasi yang berkarakter, nguri-nguri tradisi bangsa sendiri merupakan satu langkah yang dapat diambil dalam pendidikan kita. Tradisi-tradisi yang merupakan warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia menawarkan kearifan yang lebih cocok bagi kepribadian bangsa ini. Salah satu budaya yang masih terekam dan dinilai relevan adalah tembang macapat. Tembang macapat memiliki kekuatan dan kekhasan untuk memberi nasehat pada setiap manusia. Pada zaman Susuhunan Paku Buwono X dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, seni tembang menjadi salah satu media menyampaikan ajaran keutamaan.
Tembang merupakan kata dalam bahasa Jawa ragam ngoko, sedangkan dalam ragam krama disebut sekar. Tembang atau sekar adalah untaian kata-kata terikat oleh peraturan-peraturan tertentu yang bertalian dengan lagu. Tembang macapat biasa disebut juga dengan nama tembang cilik. Padmosoekatjo (1953: 13) mengemukakan bahwa tembang macapat mempunyai konvensi atau aturan yang terdiri dari guru gatra, guru wilangan dan guru lagu. guru gatra adalah ketentuan jumlah gatra (baris) tembang pada tiap padha (bait). Guru wilangan yaitu aturan jumlah suku kata tertentu pada tiap gatra untuk nama tembang macapat masing-masing. Sedangkan guru lagu adalah konvensi jatuhnya suara pada tiap-tiap akhir gatra, baik terbuka maupun tertutup.
Menurut Padmosoekatjo (1953: 12) tembang macapat atau tembang cilik terdiri atas Kinanthi, Pucung, Asmaradana, Mijil, Maskumambang, Pangkur, Sinom, Dhandhanggula, dan Durma. Masing-masing tembang memiliki konvensi yang berbeda terkait dengan tiga konvensi di atas. Adapun konvensi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kinanthi : 8u, 8i,8a, 8i, 8a, 8i.
2. Pucung : 12u, 6a, 8i, 12 a.
3. Asmaradana : 8i, 8a, 8e (o), 8a, 7a, 8u, 8a.
4. Mijil : 10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u.
5. Maskumambang : 12i. 6a, 8i, 8a.
6. Pangkur : 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i.
7. Sinom : 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8i, 7a, 8i, 12a.
8. Dhandhanggula : 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a.
9. Durma : 12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i.
Selain tembang-tembang tersebut, terdapat pula pendapat lain yang memasukkan tembang megatruh dan gambuh dalam tembang macapat. Konvensi untuk masing-masing tembang megatruh dan gambuh adalah 12u, 8i, 8u, 8i, 8o dan 7u, 10 u, 12i, 8u, 8o.
Masing-masing tembang macapat tersebut juga memiliki watak yang berbeda-beda. Biasanya, watak inilah yang memengaruhi suatu tembang digunakan dalam acara tertentu tetapi tidak digunakan dalam acara lainnya. Padmosoekatjo (1953: 13) mengemukakan watak masing-masing tembang macapat sebagai berikut.
1. Kinanthi memiliki watak gembira, senang, cinta kasih. Tembang ini biasanya digunakan untuk menyampaikan piwulang, cerita cinta.
2. Pucung berwatak kendho, gregeten, ‘menggemaskan’. Tembang ini biasanya digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang lucu dan sesuka hati.
3. Asmaradana mempunyai watak sedih karena cinta, biasanya digunakan dalam cerita cinta.
4. Mijil berwatak himbauan, cocok digunakan untuk menyampaikan nasehat.
5. Maskumambang berwatak nelangsa ‘memilukan’. Tembang ini melukiskan perasaan sedih dan memilukan.
6. Pangkur berwatak sereng, ‘keras’. Tembang ini digunakan untuk menceritakan sesuatu yang keras, cinta yang menyala-nyala.
7. Sinom berwatak grapyak, renyah, ‘lincah’. Cocok untuk pendidikan atau pengajaran.
8. Dhandhanggula berwatak luwes ‘menyenangkan’. Tembang ini cocok untuk menyampaikan suasana apapun.
9. Durma berwatak keras, marah. Tembang ini biasanya digunakan untuk menyampaikan suasana marah dan cerita perang.
10. Megatruh berwatak sedih, prihatin, “getun”, menyesal. Cocok untuk cerita yang mengandung rasa penyesalan, prihati, sedih.
11. Gambuh berwatak “sumanak, sumadulur”, kekeluargaan. Cocok untuk pengungkapan hal-hal yang bersifat keluargaan, nasihat, kependidikan yang mengandung kesungguhan hati.
Berdasarkan urutannya, tembang macapat juga memiliki nilai-nilai filsafat yang menjelaskan tentang urutan-urutan hidup. Nilai yang terkandung di dalam masing-masing tembang macapat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Maskumambang
Adalah gambaran saat manusia masih berada dalam dunia ruh dan ditanamkan dalam rahim seorang ibu.
2. Mijil
Merupakan ilustrasi dari proses kelahiran manusia, mijil/mbrojol/mencolot dan lahirlah seorang bayi manusia. Kita patut bersyukur karena dilahirkan di bumi pertiwi yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja lir saka sambikala.
3. Sinom
Adalah lukisan dari masa muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan.
4. Kinanthi
Adalah masa pembentukan jatidiri dan meniti jalan menuju cita-cita. Kinanti berasal dari kata kanthi atau tuntun yang bermakna bahwa kita membutuhkan tuntunan atau jalan yang benar agar cita-cita kita bisa terwujud.
5. Asmarandana
Menggambarkan masa-masa dirundung asmara, dimabuk cinta, ditenggelamkan dalam lautan kasih. Asmara artinya cinta, dan Cinta adalah ketulusan hati.
6. Gambuh
Arti kata gambuh adalah jumbuh/bersatu yang artinya komitmen untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga.
7. Dhandhanggula
Adalah gambaran dari kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial, kesejahteraan telah tercapai, cukup sandang, papan dan pangan (serta tentunya terbebas dari hutang piutang).
8. Durma
Durma berasal dari kata darma/sedekah berbagi kepada sesama. Dengan berderma kita tingkatkan empati sosial kita kepada saudara-saudara kita yang kekurangan, mengulurkan tangan berbagi kebahagiaan, dan meningkatkan kepekaan jiwa dan kepedulian kita terhadap kondisi-kondisi masyarakat disekitar kita.
9. Pangkur
Pangkur atau mungkur artinya menyingkirkan hawa nafsu angkara murka, nafsu negatif yang menggerogoti jiwa kita.
10. Megatruh
Megatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita menuju keabadian (entah itu keabadian yang Indah di surga, atau keabadian yang celaka yaitu di neraka).
11. Pucung
Artinya dibungkus kain mori putih/kafan berbentuk pocong dan diusung menuju liang lahat kita.
Bertolak dari pernyataan tentang nili-nilai dan falsafah kehidupan yang terdapat dalam masing-masing tembang di atas, lembaga pendidikan/sekolah dapat menggunakan tembang-tembang tersebut sebagai sarana penanaman karakter peserta didik. Contoh yang lain dalam tembang macapat adalah adanya Serat Tripama yang berarti Tiga Teladan. Serat ini merupakan Karya Pangeran Mangkunegara IV yang berisi tentang tembang Dhandhanggula yang mengisahkan tiga tokoh pewayangan, yaitu Raden Sumantri/Patih Suwondo, Kumbakarna, dan Adipati Karna.
Bambang Sumantri yang kemudian bergelar Patih Suwanda di negeri Maespati adalah satria yang mashur keberaniannya dan mampu menyelesaikan tugas berat dengan penuh tanggung jawab. Kumbakarna adalah raksasa berwatak satria tidak mau membela kakandanya Dasamuka, raja Ngalengka (Alengka) yang angkara murka. Kumbakarna memenuhi ‘tekad satria’ mengorbankan jiwanya untuk membela tanah airnya yang diserang musuh. Sedangkan Suryaputera atau Adipati Karna adalah raja Ngawangga (Angga) yang memegang teguh janjinya sebagai ‘sumpah satria’ untuk membalas budi Prabu Kurupati, raja Astina dengan berkorban jiwa melawan Arjuna, adindanya tunggal ibu dalam perang Mahabaratha.
Kutipan lengkap naskah asli Serat Tripama tersebut beserta terjemahan bahasa Indonesianya (dikutip dari buku “Tiga Suri Tauladan” oleh Kamajaya) adalah sebagai berikut.
Dhandhanggula
1.
Yogyanira kang para prajurit,
Lamun bisa samya anulada,
Kadya nguni caritane,
Andelira sang Prabu,
Sasrabau ing Maespati,
Aran Patih Suwanda,
Lalabuhanipun,
Kang ginelung tri prakara,
Guna kaya purunne kang denantepi,
Nuhoni trah utama,
1.
Seyogianya para prajurit,
Bila dapat semuanya meniru,
Seperti masa dahulu,
(tentang) andalan sang Prabu,
Sasrabau di Maespati,
Bernama Patih Suwanda,
Jasa-jasanya,
Yang dipadukan dalam tiga hal,
(yakni) pandai mampu dan berani (itulah) yang ditekuninya,
Menepati sifat keturunan (orang) utama.
2.
Lire lalabuhan tri prakawis,
Guna bisa saniskareng karya,
Binudi dadi unggule,
Kaya sayektinipun,
Duk bantu prang Manggada nagri,
Amboyong putri dhomas,
Katur ratunipun,
Purunne sampun tetela,
Aprang tandhing lan ditya Ngalengka aji,
Suwanda mati ngrana.
2.
Arti jasa bakti yang tiga macam itu,
Pandai mampu di dalam segala pekerjaan,
Diusahakan memenangkannya,
Seperti kenyataannya,
Waktu membantu perang negeri Manggada,
Memboyong delapan ratus orang puteri,
Dipersembahkan kepada rajanya,
(tentang) keberaniannya sudahlah jelas,
Perang tanding melawan raja raksasa Ngalengka,
(Patih) Suwanda dalam perang.
3.
Wonten malih tuladan prayogi,
Satriya gung nagari Ngalengka,
Sang Kumbakarna namane,
Tur iku warna diyu,
Suprandene nggayuh utami,
Duk awit prang Ngalengka,
Dennya darbe atur,
Mring raka amrih raharja,
Dasamuka tan keguh ing atur yekti,
De mung mungsuh wanara.
3.
Ada lagi teladan baik,
Satria agung negeri Ngalengka,
Sang Kumbakarna namanya,
Padahal (ia) bersifat raksasa,
meskipun demikian (ia) berusaha meraih keutamaan,
sejak perang Ngalengka (melawan Sri Ramawijaya),
ia mengajukan pendapat,
kepada kakandanya agar selamat,
(tetapi) Dasamuka tak tergoyahkan oleh pendapat baik,
Karena hanya melawan (barisan) kera.
4.
Kumbakarna kinen mangsah jurit,
Mring kang rak sira tan lenggana,
Nglungguhi kasatriyane,
Ing tekad datan purun,
Amung cipta labih nagari,
Lan nolih yayahrena,
Myang luluhuripun,
Wus mukti aneng Ngalengka,
Mangke arsa rinusak ing bala kali,
Punagi mati ngrana.
4.
Kumbakaran diperintah maju perang,
Oleh kakandanya ia tidak menolak,
Menepati (hakekat) kesatriaannya,
(sebenarnya) dalam tekadnya (ia) tak mau,
(kesuali) melulu membela negara,
Dan mengangkat ayah-bundanya,
Telah hidup nikmat di negeri Ngalengka,
(yang) sekarang akan dirusak oleh barisan kera,
(kumbakarna) bersumpah mati dalam perang.
5.
Yogya malih kinarya palupi,
Suryaputra Narpati Ngawangga,
Lan Pandhawa tur kadange,
Len yayah tunggil ibu,
Suwita mring Sri Kurupati,
Aneng nagri Ngastina,
Kinarya gul-agul,
Manggala golonganing prang,
Bratayuda ingadegken senapati,
Ngalaga ing Korawa.
5.
Baik pula untuk teladan,
Suryaputera raja Ngawangga,
Dengan Pandawa (ia) adalah saudaranya,
Berlainan ayah tunggal ibu,
(ia) mengabdi kepada Sri Kurupati,
Dijadikan andalan,
Panglima di dalam perang Bratayuda,
(ia) diangkat menjadi senapati,
Perang di pihak Korawa.
6.
Minungsuhken kadange pribadi,
Aprang tandhing lan sang Dananjaya,
Sri Karna suka manahe,
Dene sira pikantuk,
Marga dennya arsa males-sih,
Ira sang Duryudana,
Marmanta kalangkung,
Dennya ngetog kasudiran,
Aprang rame Karna mati jinemparing,
Sumbaga wirotama.
6.
Dihadapkan dengan saudaranya sendiri,
Perang tanding melawan Dananjaya,
Sri Karna suka hatinya,
Karena (dengan demikian) ia memperoleh jalan untuk membalas cinta kasih,
Sang Duryudana,
Maka ia dengan sangat,
Mencurahkan segala keberaniannya,
(dalam) perang ramai Karna mati dipanah (musuhnya),
(akhirnya ia) mashur sebagai perwira utama.
7.
Katri mangka sudarsaneng Jawi,
Pantes lamun sagung pra prawira,
Amirita sakadare,
Ing lalabuhanipun,
Aja kongsi mbuwang palupi,
Manawa tibeng nistha,
Ina esthinipun,
Sanadyan tekading buta,
Tan prabeda budi panduming dumadi,
Marsudi ing kotaman.
7.
Ketiga (pahlawan tersebut) sebagai teladan orang Jawa,
Sepantasnyalah semua para perwira,
Mengambilnya sebagai teladan seperlunya,
(yakni) mengenai jasa-bakti-nya,
Janganlah sampai membuang teladan,
Kalau-kalau jatuh hina,
Rendah cita-citanya,
Meskipun tekad raksasa,
Tidaklah berbeda usaha menurut takdirnya (sebagai) makhluk,
Berusaha meraih keutamaan.
Setelah mengetahui dan memahami makna tembang macapat tersebut, akan dapat terlihat bahwa tembang-tembang macapat memiliki nilai-nilai kehidupan yang mulia. Hal tersebut akan bernilai positif pula jika pendidikan di sekolah-sekolah di Indonesia menanmkan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik. Pendidikan yang baik dengan penanaman karakter dan pemberian teladan yang baik akan membuat peserta didik keluaran lembaga pendidikan menjadi lebih bermoral dan memiliki budi pekerti luhur.
Jika penyampaian pendidikan karakter ini dilakukan dengan baik, maka hal tersebut akan dapat mengurangi jumlah tawuran yang dilakukan oleh peserta didik. Tawuran terjadi karena kecerdasan intelektual yang mungkin dimiliki siswa tidak diimbangi dengan kecerdasan emosi. Di sinilah, pendidikan karakter memiliki peran penting. Pendidikan yang dilakukan dengan pembentukan karakter yang pas dilakukan oleh guru sebagai pendidik akan membuat siswa tidak hanya memiliki prestasi yang membanggakan, tetapi juga memiliki sikap (attitude) yang membentuk siswa sebagai manusia seutuhnya.
Beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan karakter adalah sebagai berikut.
1. Menaruh persepsi positif pada diri anak sehingga tumbuh rasa percaya diri.
2. Mengembangkan kultur kerja sama dengan menghidupkan organisasi siswa.
3. Memperluas pesan-pesan positif pada kalangan terpelajar melalui tata ruang pembelajaran.
4. Mengembangkan pembelajaran yang menaruh lebih banyak sugesti dan harapan.
Sedangkan peran yang dapat dilakukan oleh guru sebagai pendidik adalah sebagai berikut.
1. Memotivasi siswa untuk memahami belajar itu proses menuju kematangan.
2. Memberi harapan dan sugesti positif pada kalangan terpelajar.
3. Mendorong peserta didik untuk beraktivitas melalui pengembangan organisasi.
4. Menghidupkan karya-karya produktif yang memberikan rasa percaya diri pada anak.
5. Mendorong pembelajaran yang inspiratif dengan menggunakan figur-figur utama untuk dijadikan bahan inspirasi.
Penutup
Demikianlah nilai-nilai dan falsafah kehidupan yang terkandung dalam setiap tembang macapat. Falsafah kehidupan tersebut membuktikan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang adiluhung dan patut untuk diberikan kepada peserta didik agar mereka mampu meneladani sehingga memiliki karakter yang menunjukkan jati diri bangsa saat bersaing dalam kancah internasional.
Pendidikan karakter penting bagi pertumbuhan individu menjadi manusia yang seutuhnya dan sebaiknya dilakukan sejak dini. Belum membudayanya pendidikan karakter di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi upaya pengembangannya. Untuk ke depannya, perancangan pendidikan karakter harus terus dilakukan dengan komitmen yang tinggi dan dilakukan usaha perbaikan terus menerus. Dalam hal ini, penggunaan tembang macapat sebagai salah satu bahan ajar alternatif pendidikan karakter dapat dihidupkan karena dapat menggali nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa yang merupakan salah satu budaya terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Budi Adi Soewirjo. 2009. “Serat Tripama-Tiga Suri Tauladan oleh Kamajaya”. http://wayangpustaka.wordpress.com/2009/12/13/serat-tripama-tiga-suri-teladan-oleh-kamajaya/diunduh pada 4/5/2011.
Demang Hardjakusumah. 2011. “Pendidikan Karakter Cegah Radikalisme dan Anarkisme.” http://www.klik-galamedia.com/indexnews.php?wartakode= 20110503063133&idkolom=cimahi diunduh pada 3/5/2011.
Padmasoekatjo, S. 1953. Ngengsrengan Kasustran Jawi. Yogyakarta: Hien Ho Sing.
Wanda Krisiani. 2005. Upaya Penerapan Karakter bagi Mahasiswa (Studi Kasus di Jurusan Teknik Uk Petra). Jurnal Teknik Industri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005. Jakarta: Uk Petra.
Williams, Russel T. dan Ratna Megawangi. 2010. “Dampak Pendidikan Karakter terhadap Akademi Anak.” http://pondokibu.com/parenting/pendidikan-psikologi-anak/dampak-pendidikan-karakter-terhadap-akademi-anak/ diunduh pada 3/5/2011.
sumber : http://assyita.blogspot.com/2011/05/pendidikan-karakter-melalui-penggalian.html