skip to main | skip to sidebar

Pages

Monday, November 15, 2010

Pop Cultural dan Visual Art

oleh Akhmad Santoso

Beberapa lukisan dan karya seni lain yang dipajang dalam Bazaar Art 2010 lalu, yang mengindikasikan gejala pengaruh pop art yang dihentakkan pertama kali oleh Andi Warhol sekitar tahun 1950-an lalu. (foto: kuss)
SEJARAH seringkali bergerak dengan arah yang tak terduga dan mengalami pembalikan-pembalikan makna, sehingga tak jarang kita hanya bisa menduga bahwa jangan-jangan dalang yang mengatur jalannya sejarah adalah sebuah entitas yang suka pada ironi. Pop art pun tampaknya terjebak di tengah cosmic irony semacam ini. Jika pop art di era 1950an banyak mengambil citra-citra dari dunia media massa untuk diambil dan digunakan sebagai unsur-unsur bagi karya seni murni (fine art) dengan tujuan untuk mengkritik secara ironis unsur banal dan kitsch dalam kehidupan modern, maka sekarang citra-citra dalam media massa, terutama iklan (advertising) sekarang mengalami kemajuan teknologi yang sangat pesat dan menghasilkan ragam citra yang tumpah ruah, sehingga hanya orang yang tidak pernah membaca majalah dan koran saja yang akan mengatakannya banal, apalagi kitsch, dan tampaknya di saat sekarang, ketika pop art tampaknya mulai menjadi marak kembali, ia justru menjadi tergantung pada cita rasa dan teknologi pencitraan yang digunakan media massa.

Orang yang sudah terbiasa melihat iklan-iklan produk komputer tidak akan merasa asing melihat karya-karya semi-grafis seperti karya-karya F.X. Harsono (jangan ngomong dulu soal fotografer dan pembaca majalah lifestyle, karena yang saya maksud di sini adalah orang awam kebanyakan). Orang yang di masa kecilnya bermain dengan boneka-boneka robot Voltron dan nonton anime Voltus (seperti saya, tapi nebeng tetangga waktu itu :-)) tidak akan merasa ada yang luar biasa pada karya-karya Tera Bhajragosa. Anda yang suka mengkoleksi action figures dari tokoh-tokoh kartun Jepang atau Amerika kesayangan Anda, tentunya tidak akan heran melihat patung-patung mulus mengkilap karya Andre C. Tanama atau Wedhar atau Tere. Atau contoh dari kancah internasionalnya, Anda yang gemar tas mewah macam Louis Vuitton yang logonya didisain seniman Superflat kenamaan dari Jepang, Takashi Murakami, tentunya pernah nonton video promosi bagi product line “Superflat Monogram”, yang disutradarai Mamoru Hosoda, yang bukan kebetulan adalah juga sutradara dari film-film anime Digimon dan menjadi key animator dari Sailor Moon. Dan jangan keburu mengaku bahwa Anda tidak pernah tahu tas mewah semacam itu, karena versi tembakan (palsu) dari product line yang diluncurkan tahun 2008 ini sudah beredar di Pasar Besar Malang sejak (setahu saya) setahun yang silam.

Berbekal dengan sedikit yang saya tahu di atas, saya menjadi sedikit tergelitik membaca tema yang disodorkan kepada saya untuk tulisan ini, “Pop Cultural and Visual Art”. Dalam logika bahasa, operator “and” yang digunakan untuk menghubungkan lebih dari dua unsur berarti bahwa semua unsur dari sisi kiri dan kanan dari operator harus dikombinasikan sampai habis kombinasinya (dengan tetap sesuai dengan prinsip predikasi tentunya), yaitu bahwa frase itu berarti: “pop cultural art” dan “pop visual art”. Apa yang saya sampaikan di atas pada intinya mencoba untuk mengajukan argumen bahwa keduanya sulit dibedakan sekarang kalau tolok ukur yang kita gunakan adalah ragam visualnya semata. Dan bahkan mungkin kesulitan untuk membedakan antara keduanya bisa jadi lebih mendalam sifatnya daripada sekadar pada adanya kemiripan visual saja.

Seni rupa kontemporer, dalam pandangan saya pribadi, adalah sebuah tanah yang terus bergeser (shifting ground) atau malah dapat dikatakan sebagai pasir hisap. Puluhan atau bahkan ratusan aliran yang dapat diidentifikasi secara kurang lebih tegas dan entah berapa lagi gaya visual personal dan kelompok yang tidak cukup besar untuk bisa disebut sebagai aliran atau gerakan bernaung semuanya di bawah istilah payung kontemporer ini. Efeknya menjadi memudahkan dan sekaligus menyulitkan. Memudahkan dalam artian bahwa seniman sekarang (saya sekarang berbicara dalam konteks Indonesia) tidak perlu lagi malu-malu untuk mengaku sebagai seniman. Apapun gaya visual yang ia tampilkan bisa diterima sebagai kontemporer dan bahkan seniman sekarang tidak perlu lagi berrambut gondrong dan berpenampilan acak-acakan (kalau yang pria) untuk bisa dikatakan sebagai seniman. Ada seniman dari Malang yang se-angkatan dengan saya (saya kuliah angkatan 1993) yang membaca sebuah buku yang mengulas seniman-seniman kontemporer di China dan kemudian berkomentar bahwa seniman-seniman China memiliki penampilan rapi dan tidak ada yang gondrong. Orang akan berkomentar bahwa jaman sudah berubah. Tapi ada yang beda di situ, yang terjadi bukan cuma perubahan tapi juga kehancuran: karena ada sebuah penanda identitas yang hilang dan penanda identitas yang hilang itu bukan cuma bohemian look and lifestyle tapi bahkan paradigma artistik atau sebutlah pakem-pakem dalam berkarya seni yang juga ikut hilang bersama rambut gondrong itu.

Kegamangan dari paradigma berkesenian ini membuat pop art menjadi sebuah fenomena yang kompleks. Kalau kita ngomong pop art, perubahan yang terjadi di tahun 1950an, guncangan yang dibawa lewat hadirnya kitsch ke dalam dunia seni rupa (paling tidak untuk konteks Amerika Serikat saat itu) yang kemudian melahirkan reaksi berupa ekspresionisme abstrak yang digawangi Clement Greenberg dan Robert Frye, adalah sebuah guncangan yang sangat kecil skalanya dibandingkan dengan apa yang terjadi di Asia, terutama pasca kebangkitan seni Asia sejak awal 2000an. Kitsch yang dimasukkan ke dalam karya seni oleh Warhol, Lichtenstein, dan kawan-kawan adalah atribut-atribut dari produk konsumen (consumer product) seperti produk sop siap saji dalam kaleng atau botol Coca-Cola. Tapi “kitsch” yang dibawa pop art di masa sekarang (kalau memang bisa disebut “kitsch”) adalah atribut-atribut dari teknologi komunikasi dan dunia maya, yang penetrasinya ke dalam pikiran manusia adalah jauh lebih intens dan lebih melekat daripada sekedar sop dan minuman ringan yang hanya sampai ke perut. Karenanya, saya pikir kita tidak bisa menyamakan pop art-nya Warhol dengan pop-art era 2000-an dan seterusnya. Dilihat dari kacamata pop-art yang ada sekarang, pop-art-nya Warhol sudah jadul, ketinggalan jaman, dan bahkan tidak lagi relevan bahkan dalam artian paradigmatik. Keduanya sudah beda spesies, seperti bedanya kucing dengan ikan paus.

Ketika logo Coca-Cola menempel di botol, ia bukan “seni” tapi ketika ia menempel di kanvasnya Warhol, ia menjadi “seni”. Tapi hal semacam ini tidak berlaku sekarang. Orang bisa bilang bahwa Naruto dan Avatar: The Last Airbender bukan karya seni tinggi, tapi itu adalah kesalahpahaman vulgar. Ghost in the Shell dari Mamori Oshii atau Spirited Away yang disutradarai Hayao Miyazaki termasuk animasi Jepang, tapi jelas beda kelasnya dengan animasi shonen (berorientasi pada remaja laki-laki) dan shojo (berorientasi pada remaja perempuan) seperti kartun-kartun Jepang yang diputar di stasiun-stasiun televisi swasta Indonesia. Karya-karya animasi dan manga (komik) Jepang yang serius memiliki tawaran artistik dan substansi pemikiran yang jauh lebih mendalam daripada sebagian besar karya-karya yang mengaku sebagai “seni kontemporer”, baik dalam maupun luar negeri. Budaya pop di era 2000an bukan lagi kitsch seperti media iklan di masa kejayaan Warhol tapi hasil kerja keras yang tidak kalah atau bahkan malah lebih serius daripada karya-karya yang mengaku sebagai “avant-garde” dari kesenian. Mereka yang ingin berdiskusi secara serius tentang masalah ini perlu menelaah kembali pengetahuan dan selera mereka tentang hal ini: pop art bukan cuma Dragon Ball, Doraemon atau Naruto. Sama seperti dalam musik klasik: musik klasik bukan cuma Fur Elise dan Air on G String. Hal semacam ini adalah hal yang lumrah terjadi, dan justru itulah alasan mengapa saya merasa perlu menyoroti kesalahpahaman vulgar semacam ini. Berbicara tentang pop art, baik dalam artian visual tapi terutama dalam artian kultural, dengan khazanah literatur yang hanya sebatas komik-komik shonen macam Naruto adalah sama seperti mengaku gila bola tapi tidak tahu siapa David Beckham.

Revolusi pop-art yang dibawa Warhol dan kawan-kawan di era 1950-an adalah dilandaskan pada pertentangan nilai antara highbrow versus lowbrow dan Warhol menimbulkan shock dengan memasukkan unsur lowbrow atau seni kelas bawah (pop cultural art) ke dalam seni kelas tinggi (visual art) sehingga menghasilkan “pop visual art”, itu bisa terjadi tanpa ada banyak perlawanan dari kubu lowbrow. Disainer dari kaleng Campbell's Soup tidak pernah mengaku punya cita rasa tinggi dan apropriasi Warhol terhadap disain Coca-Cola tidak merusak validitas dari paradigma seni murni (kalau memang ada, tapi biarlah itu diperdebatkan di lain kesempatan) atau apropriasi yang dilakukan Lichtenstein terhadap komik Amerika Serikat tidak membuat seni murni menjadi “turun derajat” menjadi sama seperti media massa. Batas-batas pembeda antara dua dunia itu tetap terjaga.

Namun kemapanan seni murni semacam itu menjadi lebih sulit untuk dipertahankan dalam konteks seni rupa tahun 2000-an dan seterusnya. Jaman sekarang, diyakini bahwa semua orang yang mencapai level kemampuan sedang dalam komputer bisa menghasilkan citra sebagus Rembrandt atau seniman besar mana saja lewat plugin-plugin Photoshop yang luar biasa banyaknya (ini sebenarnya saya anggap sebagai sebuah kesalahpahaman vulgar, tapi biarlah ini dibahas dalam kesempatan lain). Itulah sebabnya, kehadiran teknologi grafis di atas kanvas dianggap sebagai semacam “dosa”: jejak-jejak dari teknologi grafis di atas kanvas yang didapatkan lewat proyeksi gambar ke kanvas atau lewat cetak gambar di atas kanvas selalu ditutupi dengan cat akrilik dan minyak agar lukisan terkesan “valid”. Saya membaca situasi ini sebagai kondisi dimana seni murni mengalami “serangan” dari dunia media massa. Kalau dibandingkan dengan era 1950an, posisinya terbalik: kemapanan dari dunia seni murni menjadi goyah karena seni murni mengambil citarasa dan teknologi dari media massa dan budaya “rendah” (street art, lowbrow, komik, dll.) bahkan dalam banyak kasus, seni murni mau tak mau terpaksa harus melakukan pengambilan atau apropriasi semacam itu. “Kitsch” di era millenium ketiga ini sudah sama menterengnya dengan “art”. Seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, sejarah memang ironis.

Akhir kata, saya akan menutup esai ini dengan sebuah diktum bahwa sekarang pop art dalam artian sebagai titik peleburan antara visual art dengan pop cultural art adalah avant garde di Abad 21, dengan kualifikasi bahwa apa yang disebut sebagai street art, lowbrow, komik dan yang saya lebih suka sebut sebagai superflat, ini adalah satu-satunya dari sekian banyak medan dalam dunia seni rupa yang masih terus mencoba untuk menembus batas, bukan dalam artian batas seni rupa saja, tapi juga batas-batas teknologi dan komunikasi, dan memiliki potensi untuk mengalami pergolakan dan konflik budaya, baik secara eksternal dalam artian antar wilayah geopolitis maupun secara internal dalam artian antar generasi dalam masyarakat. Secara implisit, saya telah mengasumsikan bahwa pop art adalah citarasa, wacana dan praktek yang terbentuk lewat infusi citra-citra visual dari media massa (baik yang formal seperti yang ada dalam televisi, koran, majalah maupun yang informal seperti street art dan juga yang nggak jelas formalitas atau informalitasnya seperti budaya otaku) ke dalam menara gading yang dulunya digawangi wacana seni akademis “beaux-arts” neoklasik dan neoromantik tapi sekarang sudah menjadi kontemporer, alias medan free-for-all yang tidak lagi jelas paradigmanya. Dengan definisi semacam ini, saya membaca pop art sebagai sebuah medan dinamis yang berubah dengan cepat. Dengan sendirinya, mobil yang bergerak cepat susah dipotret, dan medan yang berubah cepat akan susah didefinisikan. Konsekuensinya, seniman yang ingin mengembangkan diri harus terus-menerus memperluas dan mengubah cara pandangnya terhadap dunia sekitarnya, dan untuk itu, jangan berpuas diri hanya dengan Facebook. Kalau sudah mengenal dunia internet bertahun-tahun bisanya cuma Facebook, itu sudah merupakan tanda kemunduran. Mari kita belajar donlot!
***

*)
Ini merupakan makalah untuk Diskusi Seni Rupa tanggal, 15 Juli 2010 yang diadakan Dewan Kesenian Jawa Timur
.

Sumber : http://www.indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=70

Artikel Terkait

0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...