Diah Meidianti tak pernah gunakan pupuk kimia seperti urea, KCl, dan TSP. Sumber nutrisi bagi tanaman itu berupa pupuk hayati bikinan sendiri.
Dua tahun berkebun sayur, tak sekali pun Diah Meidianti (46) membeli pupuk anorganik. Pupuk langka dan mahal bukan masalah baginya. Ia mengandalkan jasa baik makhluk mini.
Diah Meidianti membudidayakan beragam sayuran seperti kangkung, selada, kacang panjang, terung, dan pakcoy di lahan seluas 3.500 m®MDSU¯2. Lokasi lahan di sebuah perumahan di Kotamadya Bekasi, Jawa Barat. Walau menanam sayuran di lahan kurang subur, ia rutin memanen 300 kg/komoditas setiap bulan. Pupuk kimia seperti urea, KCl, dan TSP tak pernah ia gunakan. Sumber nutrisi bagi tanaman itu berupa pupuk hayati bikinan sendiri.
Pekebun sayuran itu memanfaatkan jasa baik mikroba trichoderma, azospirillum, dan azotobacter.Ia menambahkan 0,5% masing-masing mikroba itu dari total bahan baku berupa kotoran ternak. Bila mengolah 100 kg kotoran ternak, ia menambahkan masing-masing 0,5 liter ketiga jenis mikroba.
Mei —panggilan akrab Diah Meidianti— lalu menambahkan 20% air. Langkah berikutnya ia mencampur semua bahan itu dalam drum dan mengaduk hingga tercampur rata. Setelah itu drum ditutup rapat dan disimpan di tempat teduh selama 21 hari. Setiap 3 hari, ia mengecek suhu larutan. “Selama pembuatan pupuk hayati akan menghasilkan panas. Suhu dijaga pada 27-30 derajat Celsius supaya mikroba tidak mati kepanasan,” ujar Mei.
21 Hari
Jika suhu melebihi 30 derajat Celsius, Mei menurunkannya dengan mengaduk dan menambahkan air secukupnya. Indikasi proses pembuatan selesai bila cairan dalam drum tidak berbau, warna hitam kental, dan suhu stabil 27 derajat Celsius. Itu dicapai pada 21 hari kemudian. Untuk menggunakan pupuk hayati, ia menyaring cairan nutrisi untuk memisahkan cairan dan sisa-sisa kotoran.
Pupuk hayati hasil saringan itu siap digunakan. Untuk satu liter pupuk cair, Mei mengencerkan dalam 10–20 liter air bersih. Hasil pengenceran itulah yang ia gunakan sebagai penyubur dengan cara dikocorkan ke tanah dekat pangkal batang beragam sayuran itu.
Selain berupa cairan, pupuk hayati pun bisa dibuat dalam bentuk padat. Menurut Mei, pembuatan pupuk hayati padat dengan memanfaatkan limbah rumah tangga, jerami, serbuk gergaji, dan kotoran ternak. Proses pembuatannya hampir sama dengan pupuk hayati cair melibatkan penambahan mikroba azospirillum, azotobacter, dan trichoderma. Ketiga mikroba itu ia campur menjadi satu.
Untuk membuat pupuk hayati padat, Mei menumpuk pupuk kandang, jerami, serbuk gergaji, dan limbah rumah tangga dengan perbandingan 1:1. Semua bahan baku itu disusun seperti kue lapis masing-masing setinggi 30 cm. Di antara 2 bahan itu, Mei menyemprotkan cairan mikroba berdosis 0,5% secara merata di atasnya. Proses pembuatan pupuk hayati padat juga berlangsung selama 3 pekan.
Setiap tiga hari alumnus Institut Pertanian Bogor itu mengaduk tumpukan dan menjaga suhu 27–30 derajat Celsius. Setelah 21 hari semua bahan baku berubah warna menjadi hitam dan remah. Itu artinya proses pembuatan pupuk hayati berhasil dan siap pakai. Setiap 10 kg pupuk dapat dipakai untuk lahan atau bedeng berukuran 1,2 m x 10 m.
Akar
Menurut Dr. I Nyoman Pugeg Aryantha, ahli mikrobiologi dari Institut Teknologi Bandung, pekebun juga bisa menggunakan berbagai macam akar tumbuhan seperti kangkung, rumput, dan ecenggondok sebagai bahan baku pupuk hayati. Dengan akar, pekebun tidak perlu menambahkan mikroba dari luar. “Karena di akar sudah terdapat mikroba yang diperlukan tumbuhan seperti mikroba penambat nitrogen,” kata doktor Mikologi alumnus University of Melbourne, Australia itu.
Untuk membuat pupuk hayati dari akar, Nyoman menumbuk 15 g akar beragam tumbuhan dan memasukkannya ke dalam larutan nutrisi. Larutan nutrisi itu dibuat dengan melarutkan 100 g gula merah, gula pasir, atau molase ke dalam 1 liter air. Lalu ia menambahkan 5 g tanah subur dan 5 g kompos. Semua bahan itu dicampur dalam drum atau ember yang memiliki pompa sirkulasi. Setelah diperam selama 2 hari, cairan dalam drum sudah bisa digunakan sebagai starter.
Untuk pemakaiannya, 10% starter dibiakkan kembali dalam 2,5%–5% larutan nutrisi. Tambahkan juga 10% bahan hijauan yang sudah dihancurkan. Semua bahan itu kemudian difermentasi selama 5 hari. Selama proses fermentasi sesekali cairan dalam drum diaduk. Setelah itu pupuk hayati siap digunakan. Larutan itu diencerkan, 1 liter pupuk dengan 10–50 liter air. Hasil pengenceran itulah yang digunakan sebagai penyubur. TRUBUS/R-2
Sumber www.lampungpost.com
Dua tahun berkebun sayur, tak sekali pun Diah Meidianti (46) membeli pupuk anorganik. Pupuk langka dan mahal bukan masalah baginya. Ia mengandalkan jasa baik makhluk mini.
Diah Meidianti membudidayakan beragam sayuran seperti kangkung, selada, kacang panjang, terung, dan pakcoy di lahan seluas 3.500 m®MDSU¯2. Lokasi lahan di sebuah perumahan di Kotamadya Bekasi, Jawa Barat. Walau menanam sayuran di lahan kurang subur, ia rutin memanen 300 kg/komoditas setiap bulan. Pupuk kimia seperti urea, KCl, dan TSP tak pernah ia gunakan. Sumber nutrisi bagi tanaman itu berupa pupuk hayati bikinan sendiri.
Pekebun sayuran itu memanfaatkan jasa baik mikroba trichoderma, azospirillum, dan azotobacter.Ia menambahkan 0,5% masing-masing mikroba itu dari total bahan baku berupa kotoran ternak. Bila mengolah 100 kg kotoran ternak, ia menambahkan masing-masing 0,5 liter ketiga jenis mikroba.
Mei —panggilan akrab Diah Meidianti— lalu menambahkan 20% air. Langkah berikutnya ia mencampur semua bahan itu dalam drum dan mengaduk hingga tercampur rata. Setelah itu drum ditutup rapat dan disimpan di tempat teduh selama 21 hari. Setiap 3 hari, ia mengecek suhu larutan. “Selama pembuatan pupuk hayati akan menghasilkan panas. Suhu dijaga pada 27-30 derajat Celsius supaya mikroba tidak mati kepanasan,” ujar Mei.
21 Hari
Jika suhu melebihi 30 derajat Celsius, Mei menurunkannya dengan mengaduk dan menambahkan air secukupnya. Indikasi proses pembuatan selesai bila cairan dalam drum tidak berbau, warna hitam kental, dan suhu stabil 27 derajat Celsius. Itu dicapai pada 21 hari kemudian. Untuk menggunakan pupuk hayati, ia menyaring cairan nutrisi untuk memisahkan cairan dan sisa-sisa kotoran.
Pupuk hayati hasil saringan itu siap digunakan. Untuk satu liter pupuk cair, Mei mengencerkan dalam 10–20 liter air bersih. Hasil pengenceran itulah yang ia gunakan sebagai penyubur dengan cara dikocorkan ke tanah dekat pangkal batang beragam sayuran itu.
Selain berupa cairan, pupuk hayati pun bisa dibuat dalam bentuk padat. Menurut Mei, pembuatan pupuk hayati padat dengan memanfaatkan limbah rumah tangga, jerami, serbuk gergaji, dan kotoran ternak. Proses pembuatannya hampir sama dengan pupuk hayati cair melibatkan penambahan mikroba azospirillum, azotobacter, dan trichoderma. Ketiga mikroba itu ia campur menjadi satu.
Untuk membuat pupuk hayati padat, Mei menumpuk pupuk kandang, jerami, serbuk gergaji, dan limbah rumah tangga dengan perbandingan 1:1. Semua bahan baku itu disusun seperti kue lapis masing-masing setinggi 30 cm. Di antara 2 bahan itu, Mei menyemprotkan cairan mikroba berdosis 0,5% secara merata di atasnya. Proses pembuatan pupuk hayati padat juga berlangsung selama 3 pekan.
Setiap tiga hari alumnus Institut Pertanian Bogor itu mengaduk tumpukan dan menjaga suhu 27–30 derajat Celsius. Setelah 21 hari semua bahan baku berubah warna menjadi hitam dan remah. Itu artinya proses pembuatan pupuk hayati berhasil dan siap pakai. Setiap 10 kg pupuk dapat dipakai untuk lahan atau bedeng berukuran 1,2 m x 10 m.
Akar
Menurut Dr. I Nyoman Pugeg Aryantha, ahli mikrobiologi dari Institut Teknologi Bandung, pekebun juga bisa menggunakan berbagai macam akar tumbuhan seperti kangkung, rumput, dan ecenggondok sebagai bahan baku pupuk hayati. Dengan akar, pekebun tidak perlu menambahkan mikroba dari luar. “Karena di akar sudah terdapat mikroba yang diperlukan tumbuhan seperti mikroba penambat nitrogen,” kata doktor Mikologi alumnus University of Melbourne, Australia itu.
Untuk membuat pupuk hayati dari akar, Nyoman menumbuk 15 g akar beragam tumbuhan dan memasukkannya ke dalam larutan nutrisi. Larutan nutrisi itu dibuat dengan melarutkan 100 g gula merah, gula pasir, atau molase ke dalam 1 liter air. Lalu ia menambahkan 5 g tanah subur dan 5 g kompos. Semua bahan itu dicampur dalam drum atau ember yang memiliki pompa sirkulasi. Setelah diperam selama 2 hari, cairan dalam drum sudah bisa digunakan sebagai starter.
Untuk pemakaiannya, 10% starter dibiakkan kembali dalam 2,5%–5% larutan nutrisi. Tambahkan juga 10% bahan hijauan yang sudah dihancurkan. Semua bahan itu kemudian difermentasi selama 5 hari. Selama proses fermentasi sesekali cairan dalam drum diaduk. Setelah itu pupuk hayati siap digunakan. Larutan itu diencerkan, 1 liter pupuk dengan 10–50 liter air. Hasil pengenceran itulah yang digunakan sebagai penyubur. TRUBUS/R-2
Sumber www.lampungpost.com
0 komentar:
Post a Comment