Karya bertajuk"Artlightenment" garapan Rocka Radipa, dengan medium kuningan yang dietsa. Ukuran karya ini 200x200 cm dan dibuat tahun 2010. (foto: rocka) | ||
Dalam status di wall akun Facebook-nya acap kali tertera teks yang amat personal. Misalnya Cicilan Kredit Ketabahan Jilid 1; Menggumuli Semangat, Mensyukuri Nikmat; Menggonggong Menebar Debu Harapan; Tampan Parkinson with Temulawak Beer, Merapat Kehadirat, Memasak Ubi dengan iringan The Brand New Heavies!; Mbah Marijan. Hidup Sederhana, Mengabdi dgn Tulus, Mati dgn cara Ganteng!; Manuver Cubit-mencubit Antar-partner, Meluruh bersimpuh di kerendahan pemahat ruh, dan sebagainya. Begitu tertulis di status Facebook Rocka Radipa. Tak semuanya dengan gampang dipahami karena memeram adukan beragam persoalan, internal dan eksternal. Tapi, ya, media jejaring sosial memang telah menjadi bagian hidup yang integral bagi kebanyakan anak-anak muda sekarang. Tak terkecuali bagi Rocka, seniman yang dulu hanya dikenal sebagai pertapa yang suka kesunyian dan mengaku anti-teknologi. Yang personal kadang jadi perkara komunal, juga sebaliknya. Lepas dari itu, kini tidak terbantahkan lagi bahwa teknologi telah amat karib bagi para seniman dalam berkarya. Sekarang tidak asing lagi seniman membuat sketsa atau gambar di komputer sebelum di terjemahkan ke kanvas. Tidak asing lagi dengan print digital atau media interaktif. Seni Rupa Indonesia memang tengah mengalami musim semi. Fase di mana semua seniman berusaha menampilkan inovasinya. Ada yang menarik kalau dilihat beberapa tahun terakhir ini, karya media non-konvensional mulai diminati. Sebut saja Rocka Radipa ini. Dia menawarkan master etching sebagai bentuk eksplorasinya. Etching atau etsa sebetulnya bukan hal baru di dunia sejarah seni rupa. Sebut saja, di Barat pernah ada karya Christ Preaching, atau The Hundred Guilder print yang digubah oleh sang maestro Belanda Rembrandt van Rijn (1648). Itu merupakan salah satu contoh karya etsa. Karya seni yang menggunakan bahan kimia dalam prosesnya ini memang punya katakteristik unik seperti guratan guratan relief. Rocka mengaku hobinya dalam menggambar memang sejak kecil. Tak heran kalau pintu, tembok, meja, dan kursi rumah kakeknya dahulu sering jadi media sasaran corat-coret, katanya. Ketertarikan akan seni, serta bangunan konsepsi berkeseniannya mulai berkembang ketika ia mulai belajar sedikit ilmu filsafat dan mantiq di pesantren Solo. Dari situlah ia mulai mengenal tokoh Al-Kindi (155-256 H), filosof besar yang menguasai beraneka bidang keilmuan, seperti matematika, astronomi, musik, geometri, kedokteran dan politik, di samping nama-nama besar yang muncul setelahnya, sebut saja Ar-Razi, Ibn Sina (370-428 H), Al-Farabi (359-438 H) dan yang lainnya. Di pondok pesantren itu juga dia mengenal ilmu kaligrafi, dan teknik relief pada kaligrafi. Setelah melanjutkan ke program studi Disain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Yogyakarta, ia mulai memperdalam wawasan, teknik, serta kesejarahan seni. Sampai akhirnya ia mendapatkan pencapaian penting: The Best 10 Philip Morris Art Award tahun 2001, lewat karyanya yang bertajuk Ruang Budaya. Kala itu, Rocka masih memakai nama asal yang menjadi identitasnya sejak lahir hingga usia 30-an, yakni Sigit Kurniawan. (Nama Rocka Radipa dipakainya lewat proses pengesahan yang berbelit di pengadilan beberapa tahun lalu). Rekam jejak Rocka Radipa juga pernah berpameran di beberapa tempat yang berlangsung hingga kini. Dia juga berkesempatan berpameran di Aarhus-Denmark dalam dalam event Minority Report. Kecenderungan terakhir, karyanya bertutur perihal seni yang diekspektasikan sebagai jalan pencerahan dari efek negatif modernitas. Sehingga, menurutnya, seniman modern dituntut mempunyai 5 integritas (yang dikutip dari buku karya seorang konsultan manajemen dunia, Stephen R Covey), yaitu: (1) aspiration intelligence (kecerdasan untuk menciptakan), (2) intellectual intelligence (kecerdasan yang berkaitan dengan proses mewujudkan, atau proses konsep penciptaan), (3) emotional intelligence (kemampuan mengelola emosi baik di dalam dirinya maupun kepada diri orang lain, sehingga menjadi pribadi yang berani, ulet, sabar, sederhana, dan berjiwa merdeka), (4) power intelligence (kecerdasan untuk menentukan seberapa efektif dan efisien seseorang dalam usaha mencapai tujuannya), dan terahir adalah (5) spiritual intelligence (keiklasan dalam pilihan hidup dan memaknai karyanya). Memang tak mudah untuk menurunkan konsepsi Covey di atas dalam dataran artistic dan estetik. Maka, dalam keterbatasan itu, Rocka menelurkan karya logam kuningan dengan teknik etsa yang berjudul Artlightenment! Ukuran karya ini cukup besar: 200x200 cm dengan berat lebih dari 3- kilogram. Karya ini masuk sebagai finalis Indonesia Art Award (IAA) 2010. Secara material etsa logam ukuran jumbo 200x200cm yang ditawarkan Rocka memang jarang dan mungkin memang belum pernah dibuat oleh seniman sebelumnya. Kebanyakan, para pegrafis murni (printmakers) yang biasa bergelut dengan medium kuningan, menjadikan logam ini sekadar sebagai perantara dalam memproses sebuah karya, bukan menjadikan itu sebagai karya tersendiri. Inilah salah satu terobosan Rocka dalam menyiasati medium. Ketika ditanya bagaimana konsep berkesenian anda, seniman yang masih betah melajang ini menjawab “Bagi saya berkesenian adalah sabda real dari kecantikan olah rasa, fikir dan batin atas temuan-temuan mutakhir renik kehidupan. Dan temuan-temuan inilah yang nantinya akan menjadi bahan wacana dan “obrolan”. Jadi karya saya adalah vitamin. Insya Allah” begitu katanya. Ah, semoga nutrisi itu bisa diserap dan diapresiasi oleh publik seni rupa*** |
Sumber : http://www.indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=167
0 komentar:
Post a Comment