Oleh Danu Widhyatmoko
Tak butuh barometer khusus untuk mengukur betapa pesatnya perkembangan desain grafis di Indonesia. Semua mudah terlihat secara kasat mata baik di industri maupun di wilayah akademis. Namun semua juga sepakat, setiap perkembangan tak akan hanya bergerak ke arah positif namun memiliki potensi gerak pula ke arah negatif. Perkembangan pesat yang terjadi tanpa rambu, tanpa arah, tanpa tujuan hanya akan membawa percepatan menuju arah negatif.
Perjuangan keilmuan dan profesi adalah perjuangan kolektif, tak bisa dilakukan secara sporadis, personal, sendiri-sendiri. Namun di luar itu, pendekatan perjuangan dengan mengedepankan seorang figur yang mewakili keilmuan dan profesi tetap menjadi pilihan menarik yang dapat dilakukan. “Berjamaah” menjadi sebuah kata yang tak dapat ditawar untuk memajukan keilmuan dan profesi.
KOMPONEN UTAMA
Tiga komponen utama yang melekat pada keilmuan dan profesi biasanya meliputi mahasiswa, pengajar dan praktisi. Ketiga komponen tersebut memiliki peran signifikan di masing-masing ranah mereka. Ketiganya saling terkait mempengaruhi lainnya, memberikan dampak bagi komponen lainnya. Praktisi di industri yang baik membutuhkan sumber daya manusia yang baik, sumber daya manusia yang baik didapatkan dari mahasiswa yang berkualitas, mahasiswa yang berkualitas didapat dari sistem pengajaran dan pengajar yang baik pula.
Desain grafis Indonesia telah memiliki Adgi sebagai asosiasi profesi desain grafis, memiliki FDGI sebagai forum yang melintas profesi maupun keilmuan desain grafis dengan kedekatan yang menarik terhadap para mahasiswa desain grafis Indonesia. Indonesia juga memiliki DGI sebagai wadah data serta media informasi bagi desain grafis Indonesia. Dan terakhir Indonesia memiliki IGDA yang berharap ke depannya segera dilembagakan hingga menjadi satu institusi berdikari dan turut mempercepat membangun desain grafis Indonesia. Yang masih belum dimiliki oleh desain grafis Indonesia adalah organisasi pengajar, pemilik perusahaan serta pemilik institusi pendidikan desain grafis Indonesia. Sambil menunggu munculnya organisasi-organisasi tersebut kita tetap bisa memulai sekarang dengan memaksimalkan saluran organisasi-organisasi yang telah ada sekarang.
Menjadi ideal memang seperti yang dilakukan oleh RGD Ontario (www.rgdontario.com) dimana pengelolaan (pembinaan) praktisi, mahasiswa, perusahaan, industri, termasuk komunikasi yang baik dengan penyelenggara pendidikan desain grafis dapat dilakukan dalam satu atap. Lalu bagaimana dengan di Indonesia, apakah perlu menggabungkan Adgi, FDGI serta DGI dalam satu wadah? Idealnya pasti “iya” jawabnya! Namun terlalu banyak energi yang harus dikeluarkan bila melakukan hal itu. Sinergi tentu jawab utamanya, dengan memaksimalkan tiap potensi. Menerapkan manajemen tetris tentu menjadi pilihan yang menarik, karena setiap individu/institusi memiliki karakter, keunikan, kelebihan dan kekurangan. Menjadi satu tantangan terbesar apabila kita sanggup dan mampu menempatkan mereka pada sisi mereka yang paling tepat, paling sesuai dengan segenap kelebihan dan kekurangan yang ia miliki.
Secara sederhana jalannya peran masing-masing organisasi dapat dipetakan seperti berikut.
01.
Adgi sebagai institusi strategis dapat mengambil perannya untuk terus mendekatkan diri kepada pemerintah, tentunya langkah awal yang dapat diambil adalah merealisasikan SKKNI lengkap dengan lembaga sertifikasinya. Langkah ini sangat strategis karena dapat menjadi bola salju yang terus bergulir memperbaiki kondisi industri desain grafis Indonesia, seperti kisah menarik yang terjadi di Ontario lewat RGD-nya. Pada poin ini pendekatan terhadap Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pengakuan keberadaan profesi dapat diawali keluarnya SK SKKNI untuk desain grafis, dan dilanjutkan dengan keluarnya no kode kontribusi pajak di Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, hingga dapat merekam kontribusi pajak yang telah diberikan oleh industri desain grafis Indonesia.
Terhadap Departemen Pendidikan Nasional semestinya dialog untuk menjadikan Adgi sebagai salah satu komponen di dalam diskusi standar kurikulum desain grafis dapat dilakukan, termasuk dapat dilibatkan di dalam proses menentukan (memberikan masukan) poin akreditasi institusi pendidikan desain grafis Indonesia.
Dalam pengelolaan industri, pilihan untuk berdialog dan bekerjasama dengan Departemen Perindustrian serta Departemen Perdagangan sepertinya mutlak untuk dilakukan.
Fokus pengelolaan Adgi tetap kepada industri desain grafis Indonesia terutama terhadap para anggota Adgi. Isu mengenai perlindungan hukum sepertinya menjadi komponen mendesak yang mesti mulai dilakukan.
02.
FDGI dan kedekatannya dengan mahasiswa menjadi potensi luarbiasa untuk semakin dimaksimalkan. Pola pemaksimalan tersebut dapat direalisasikan dengan memperluas wilayah kontribusinya, masuk ke ranah akademis (pengajar dan mahasiswa). Dengan kontribusi ini, desain grafis Indonesia tidak perlu mencari dan membangun satu bentuk roda baru lagi untuk organisasi para pengajarnya.
Peran pembekalan (bersifat tambahan/plug in) para mahasiswa sebelum terjun ke dalam industri desain grafis dapat diambil secara menyeluruh oleh FDGI. Dengan menciptakan harmoni yang selaras dengan institusi pendidikan penyelenggara desain grafis, FDGI akan mampu mewujudkan sinergi dialog kualitas pendidikan desain grafis. Hingga saat ini, masih menjadi PR besar bagi pendidikan desain grafis Indonesia adalah belum terciptanya standar kualitas dari pendidikan desain grafis itu sendiri. Saya yakin lewat FDGI arah komunikasi antar perguruan tinggi di Indonesia dapat diciptakan dengan signifikan dengan diawali langkah sederhana berupa dialog-dialog informal yang mempertemukan wakil-wakil perguruan tinggi tersebut. Komunikasi yang tercipta setidaknya dapat terjadi tukar menukar keberhasilan serta solusi permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing.
03.
DGI akan tetap berjalan di wilayahnya sebagai pusat data dan informasi. Lewat DGI juga dimungkinkan untuk tersedianya area khusus untuk Adgi serta FDGI yang berisi tulisan-tulisan yang berisi materi yang sesuai dengan wilayah organisasi. Misalnya untuk area Adgi akan berisi tips, saran, pemikiran seputar menjalankan bidang usaha desain grafis. Sedang area FDGI akan berisi tulisan-tulisan yang berisi tips dan pembekalan bagi mahasiswa dalam menyiapkan dirinya menjadi desainer yang handal. Termasuk tulisan-tulisan untuk para pengajarnya.
Dengan berbasis internet memungkinkan diciptakannya sistem network antar situs Adgi – FDGI – DGI dan menjadi lebih efisien serta efektif. Materi yang ada dapat dipublikasikan lewat jaringan tersebut dan semakin menyebarkan hal positif yang ingin disampaikan. Dengan sistem network antar situs juga dimungkinkan untuk semakin menguatkan penyampaian informasi dari tiap kegiatan yang saling diadakan. Dan pada akhirnya tiap kegiatan tersebut akan didatakan di DGI menjadi satu kesatuan sejarah perjalanan desain grafis Indonesia. Beban pendokumentasian serta pengelolaan naskah dapat diletakkan di DGI.
PENGELOLAAN
AIGA (www.aiga.org), The Type Directors Club (http://tdc.org), Art Directors Club (www.adcglobal.org), Icograda (www.icograda.org) termasuk RGD Ontario, kelimanya merupakan organisasi berbasis insan kreatif. Di dalam pelaksanaan tugas-tugas kesehariannya terdapat staf pelaksana (yang berjumlah tidak terlalu banyak) yang digaji untuk menjalankan kegiatan keseharian dari organisasi mereka. Sepertinya model seperti ini ada baiknya segera dijalankan di masing-masing organisasi desain grafis Indonesia. Berharap dewan direktur turun ke bawah untuk mengelola kegiatan keseharian tentunya menjadi beban yang sulit untuk dilaksanakan dengan mudah. Begitupun dengan terus bergantung kepada konsep volunteer (sukarelawan), menjadi sulit untuk mengembangkan serta menjalankan organisasi. Akhirnya menjadi PR pertama yang harus diselesaikan dari tiap organisasi adalah bagaimana menyediakan dana untuk membayar para staf harian tersebut. Mengelola kegiatan (seminar, workshop), mengelola iuran keanggotaan, mengelola sertifikasi, merilis produk, mencari dana hibah, dan tentunya sponsorship adalah pilihan-pilihan sumber dana yang dapat dikelola namun tidak dapat dikelola dengan sambil lalu.
“Tempat” adalah isu berikutnya, isu tersebut tidaklah sepele mengingat komunikasi yang baik pastinya tercipta dari intensitas diskusi yang berjalan aktif. Seberapa seringnya diskusi serta dialog itu berlangsung. Dan menjadi luar biasa apabila tempat tersebut dapat berada di bawah satu atap hingga dialog tidak hanya terjadi antar keanggotaan masing-masing organisasi namun melintas batas antar organisasi.
PENUTUP
Membangun desain grafis Indonesia sekali lagi adalah pekerjaan komunal, kerja bersama yang melintas batas. Namun di dalam pelaksanaannya ada baiknya tiap organisasi (ataupun para penyandang kepentingan) dapat duduk bersama merumuskan sebuah peta biru sederhana arah tujuan dari keilmuan dan profesi ini, merumuskan desainer grafis yang ideal itu yang seperti apa. Termasuk di dalamnya menentukan zona-zona utama dari gerak masing-masing organisasi, tidak harus berbatas mutlak, namun lebih mengorganisasikan tanggung jawab utama dari pengelolaan masing-masing anggota dan aktivitasnya.
Dan semua pada akhirnya berujung kepada satu kalimat sederhana, “Semua untuk desain grafis Indonesia!”
* * *
Tak butuh barometer khusus untuk mengukur betapa pesatnya perkembangan desain grafis di Indonesia. Semua mudah terlihat secara kasat mata baik di industri maupun di wilayah akademis. Namun semua juga sepakat, setiap perkembangan tak akan hanya bergerak ke arah positif namun memiliki potensi gerak pula ke arah negatif. Perkembangan pesat yang terjadi tanpa rambu, tanpa arah, tanpa tujuan hanya akan membawa percepatan menuju arah negatif.
Perjuangan keilmuan dan profesi adalah perjuangan kolektif, tak bisa dilakukan secara sporadis, personal, sendiri-sendiri. Namun di luar itu, pendekatan perjuangan dengan mengedepankan seorang figur yang mewakili keilmuan dan profesi tetap menjadi pilihan menarik yang dapat dilakukan. “Berjamaah” menjadi sebuah kata yang tak dapat ditawar untuk memajukan keilmuan dan profesi.
KOMPONEN UTAMA
Tiga komponen utama yang melekat pada keilmuan dan profesi biasanya meliputi mahasiswa, pengajar dan praktisi. Ketiga komponen tersebut memiliki peran signifikan di masing-masing ranah mereka. Ketiganya saling terkait mempengaruhi lainnya, memberikan dampak bagi komponen lainnya. Praktisi di industri yang baik membutuhkan sumber daya manusia yang baik, sumber daya manusia yang baik didapatkan dari mahasiswa yang berkualitas, mahasiswa yang berkualitas didapat dari sistem pengajaran dan pengajar yang baik pula.
Desain grafis Indonesia telah memiliki Adgi sebagai asosiasi profesi desain grafis, memiliki FDGI sebagai forum yang melintas profesi maupun keilmuan desain grafis dengan kedekatan yang menarik terhadap para mahasiswa desain grafis Indonesia. Indonesia juga memiliki DGI sebagai wadah data serta media informasi bagi desain grafis Indonesia. Dan terakhir Indonesia memiliki IGDA yang berharap ke depannya segera dilembagakan hingga menjadi satu institusi berdikari dan turut mempercepat membangun desain grafis Indonesia. Yang masih belum dimiliki oleh desain grafis Indonesia adalah organisasi pengajar, pemilik perusahaan serta pemilik institusi pendidikan desain grafis Indonesia. Sambil menunggu munculnya organisasi-organisasi tersebut kita tetap bisa memulai sekarang dengan memaksimalkan saluran organisasi-organisasi yang telah ada sekarang.
Menjadi ideal memang seperti yang dilakukan oleh RGD Ontario (www.rgdontario.com) dimana pengelolaan (pembinaan) praktisi, mahasiswa, perusahaan, industri, termasuk komunikasi yang baik dengan penyelenggara pendidikan desain grafis dapat dilakukan dalam satu atap. Lalu bagaimana dengan di Indonesia, apakah perlu menggabungkan Adgi, FDGI serta DGI dalam satu wadah? Idealnya pasti “iya” jawabnya! Namun terlalu banyak energi yang harus dikeluarkan bila melakukan hal itu. Sinergi tentu jawab utamanya, dengan memaksimalkan tiap potensi. Menerapkan manajemen tetris tentu menjadi pilihan yang menarik, karena setiap individu/institusi memiliki karakter, keunikan, kelebihan dan kekurangan. Menjadi satu tantangan terbesar apabila kita sanggup dan mampu menempatkan mereka pada sisi mereka yang paling tepat, paling sesuai dengan segenap kelebihan dan kekurangan yang ia miliki.
Secara sederhana jalannya peran masing-masing organisasi dapat dipetakan seperti berikut.
01.
Adgi sebagai institusi strategis dapat mengambil perannya untuk terus mendekatkan diri kepada pemerintah, tentunya langkah awal yang dapat diambil adalah merealisasikan SKKNI lengkap dengan lembaga sertifikasinya. Langkah ini sangat strategis karena dapat menjadi bola salju yang terus bergulir memperbaiki kondisi industri desain grafis Indonesia, seperti kisah menarik yang terjadi di Ontario lewat RGD-nya. Pada poin ini pendekatan terhadap Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pengakuan keberadaan profesi dapat diawali keluarnya SK SKKNI untuk desain grafis, dan dilanjutkan dengan keluarnya no kode kontribusi pajak di Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, hingga dapat merekam kontribusi pajak yang telah diberikan oleh industri desain grafis Indonesia.
Terhadap Departemen Pendidikan Nasional semestinya dialog untuk menjadikan Adgi sebagai salah satu komponen di dalam diskusi standar kurikulum desain grafis dapat dilakukan, termasuk dapat dilibatkan di dalam proses menentukan (memberikan masukan) poin akreditasi institusi pendidikan desain grafis Indonesia.
Dalam pengelolaan industri, pilihan untuk berdialog dan bekerjasama dengan Departemen Perindustrian serta Departemen Perdagangan sepertinya mutlak untuk dilakukan.
Fokus pengelolaan Adgi tetap kepada industri desain grafis Indonesia terutama terhadap para anggota Adgi. Isu mengenai perlindungan hukum sepertinya menjadi komponen mendesak yang mesti mulai dilakukan.
02.
FDGI dan kedekatannya dengan mahasiswa menjadi potensi luarbiasa untuk semakin dimaksimalkan. Pola pemaksimalan tersebut dapat direalisasikan dengan memperluas wilayah kontribusinya, masuk ke ranah akademis (pengajar dan mahasiswa). Dengan kontribusi ini, desain grafis Indonesia tidak perlu mencari dan membangun satu bentuk roda baru lagi untuk organisasi para pengajarnya.
Peran pembekalan (bersifat tambahan/plug in) para mahasiswa sebelum terjun ke dalam industri desain grafis dapat diambil secara menyeluruh oleh FDGI. Dengan menciptakan harmoni yang selaras dengan institusi pendidikan penyelenggara desain grafis, FDGI akan mampu mewujudkan sinergi dialog kualitas pendidikan desain grafis. Hingga saat ini, masih menjadi PR besar bagi pendidikan desain grafis Indonesia adalah belum terciptanya standar kualitas dari pendidikan desain grafis itu sendiri. Saya yakin lewat FDGI arah komunikasi antar perguruan tinggi di Indonesia dapat diciptakan dengan signifikan dengan diawali langkah sederhana berupa dialog-dialog informal yang mempertemukan wakil-wakil perguruan tinggi tersebut. Komunikasi yang tercipta setidaknya dapat terjadi tukar menukar keberhasilan serta solusi permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing.
03.
DGI akan tetap berjalan di wilayahnya sebagai pusat data dan informasi. Lewat DGI juga dimungkinkan untuk tersedianya area khusus untuk Adgi serta FDGI yang berisi tulisan-tulisan yang berisi materi yang sesuai dengan wilayah organisasi. Misalnya untuk area Adgi akan berisi tips, saran, pemikiran seputar menjalankan bidang usaha desain grafis. Sedang area FDGI akan berisi tulisan-tulisan yang berisi tips dan pembekalan bagi mahasiswa dalam menyiapkan dirinya menjadi desainer yang handal. Termasuk tulisan-tulisan untuk para pengajarnya.
Dengan berbasis internet memungkinkan diciptakannya sistem network antar situs Adgi – FDGI – DGI dan menjadi lebih efisien serta efektif. Materi yang ada dapat dipublikasikan lewat jaringan tersebut dan semakin menyebarkan hal positif yang ingin disampaikan. Dengan sistem network antar situs juga dimungkinkan untuk semakin menguatkan penyampaian informasi dari tiap kegiatan yang saling diadakan. Dan pada akhirnya tiap kegiatan tersebut akan didatakan di DGI menjadi satu kesatuan sejarah perjalanan desain grafis Indonesia. Beban pendokumentasian serta pengelolaan naskah dapat diletakkan di DGI.
PENGELOLAAN
AIGA (www.aiga.org), The Type Directors Club (http://tdc.org), Art Directors Club (www.adcglobal.org), Icograda (www.icograda.org) termasuk RGD Ontario, kelimanya merupakan organisasi berbasis insan kreatif. Di dalam pelaksanaan tugas-tugas kesehariannya terdapat staf pelaksana (yang berjumlah tidak terlalu banyak) yang digaji untuk menjalankan kegiatan keseharian dari organisasi mereka. Sepertinya model seperti ini ada baiknya segera dijalankan di masing-masing organisasi desain grafis Indonesia. Berharap dewan direktur turun ke bawah untuk mengelola kegiatan keseharian tentunya menjadi beban yang sulit untuk dilaksanakan dengan mudah. Begitupun dengan terus bergantung kepada konsep volunteer (sukarelawan), menjadi sulit untuk mengembangkan serta menjalankan organisasi. Akhirnya menjadi PR pertama yang harus diselesaikan dari tiap organisasi adalah bagaimana menyediakan dana untuk membayar para staf harian tersebut. Mengelola kegiatan (seminar, workshop), mengelola iuran keanggotaan, mengelola sertifikasi, merilis produk, mencari dana hibah, dan tentunya sponsorship adalah pilihan-pilihan sumber dana yang dapat dikelola namun tidak dapat dikelola dengan sambil lalu.
“Tempat” adalah isu berikutnya, isu tersebut tidaklah sepele mengingat komunikasi yang baik pastinya tercipta dari intensitas diskusi yang berjalan aktif. Seberapa seringnya diskusi serta dialog itu berlangsung. Dan menjadi luar biasa apabila tempat tersebut dapat berada di bawah satu atap hingga dialog tidak hanya terjadi antar keanggotaan masing-masing organisasi namun melintas batas antar organisasi.
PENUTUP
Membangun desain grafis Indonesia sekali lagi adalah pekerjaan komunal, kerja bersama yang melintas batas. Namun di dalam pelaksanaannya ada baiknya tiap organisasi (ataupun para penyandang kepentingan) dapat duduk bersama merumuskan sebuah peta biru sederhana arah tujuan dari keilmuan dan profesi ini, merumuskan desainer grafis yang ideal itu yang seperti apa. Termasuk di dalamnya menentukan zona-zona utama dari gerak masing-masing organisasi, tidak harus berbatas mutlak, namun lebih mengorganisasikan tanggung jawab utama dari pengelolaan masing-masing anggota dan aktivitasnya.
Dan semua pada akhirnya berujung kepada satu kalimat sederhana, “Semua untuk desain grafis Indonesia!”
* * *
0 komentar:
Post a Comment