skip to main | skip to sidebar

Pages

Wednesday, November 24, 2010

Panduan Pendidikan Paralegal untuk Perjuangan Kaum Tani

Judul buku: Panduan Pendidikan Paralegal untuk Perjuangan Kaum Tani
Penulis: Gunawan
Penerbit: Center For Social Democratic Studies
Cetakan: 1, Januari 2010
Tebal: 173 halaman

Berjuang dalam Bahaya
Oleh Sabiq Carebesth

Perjuangan petani atau pendamping petani akan selalu disertai dengan kekerasan, tindak kriminalisasi atau intimidasi, itulah kenyataan yang terus mengemuka sampai hari ini. Petani harus berjuang dalam bahaya, karena mencari kebenaran dan menuntut hak-hak asasinya nyaris tanpa payung hukum yang jelas dan kuat, atau pun karena hukum yang ada tidak dijalankan dengan konsisten untuk sepenuhnya kemakmuran-keadilan petani.

Padahal hak-hak petani adalah juga meupakan hak asasi manusia. Banyak dasar yang menandaskan aan hal itu; Konstitusi (UUD 1945), hukum hak asasi manusia (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999) danUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA 1960) menyatakan hak atas tanah bagi rakyat, dan kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi, melindungi dan memajukan hak tersebut. Disamping itu, pembaruan agraria (reforma agraria) adalah kewajiban HAM negara, sebagaimana diamanatkan TAP MPR Nomor IX Tahun 1999 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 dan instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi atau pemerintah Indonesia turut menandatanganinya seperti: (1). Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (disahkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005). (2). WCARRD (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development) tahun 1979 yang menghasilkan Peasant Charter (Piagam Tani). (3). ICARRD (International Conference on Agrarian Reform and Rural Development) tahun 2006.

Fenomenanya, selama ini dan masih terus berlangsnung dalam sengketa tanah dengan perusahaan, perusahaan akan selalu melalui proses pengadilan, sedangkan yang di jadikan pedoman oleh pengadilan adalah hitam diatas putih , bukti tertulis dan sebagainya, sedangkan ditingkat petani tidak ada girik, sertifikat, kecuali foto-foto bahwa tanah tersebut adalah milk petani, tetapi bukti ini tidak pernah cukup kuat untuk memenangi petani di persidangan. Maka dari itu kita slalu menghindari jalur pengadilan, dan pilihannya adalah lobby politik, baik dalam sengketa tanah, maupun kriminalisasi petani. Dan selalu kita pakai lobby politik dan ini sering berhasil denagn bukti data (foto) saksi. Dasar petani mengambil alih tanah adalah karna adanya tanah telantar.

Terlepas dari fenomena di atas, sesungguhnya masalah pangan dan pertanian adalah harkat, hak, dan hakikat kita bersama sekaligus eksistensi kebangsaan. Tanah dalam khidmat kebudayaan masyarakat kita adalah spirit dan spiritual bagi keberlangsungan hidup manusia dan harmoni alam dunia. Tanah adalah manusia, manusia adalah tanah, akan kembali juga ketanah. Namun di tempat yang lain dari perjalanan bangsa ini, bahkan sampai sekarang kita seolah mau terus di suguhi fakta historis bahwa tanah adalah kriminalisasi, tanah adalah penembakan, tanah adalah perampasan, tanah adalah intimidasi; kenyataan historisnya; tanah adalah fenomena perampasan hak-hak petani!

Regulasi yang tak memihak, penanganan sengketa tanah yang tidak adil, objek dan subjek sengketa tanah, kriminalisasi petani, adalah sebagian dari indikasi paling dominan atas pelanggaran hak petani yang nyata dilakukan oleh negara, swasta, maupun elaborasi keduanya.

Fenomena itu menunjukan, seperti halnya yang banyak terjadi di lapangan selama ini, bahwa reforma agraria rupanya bukanlah hal yang mudah, atau memiliki daya konsistensinya dari segala pihak terutama Negara sebagai penyelanggara publik untuk menyelenggarakan apa-apa yang menajdi hak rakyat atas hak agrarianya. Yang terjadi malah seringkali Negara justeru menjadi tameng dari investasi modal atas perampasan aset-aset pertanahan rakyat, dan sector agraria lainnya. Fenomena kriminalisasi petani, penembakan petani, intimidasi dan kebohongan-kebohongan hukum yang sudah terjadi adalah bukti paling dekat bagaimana reforma agraria dan keadilan agraria bagi rakyat, tidak hanya menemui banyak hambatan, namun kekerasan yang nyata yang seringkali sampai melangar hak-hak asasi rakyat sebagai manusia.

Di tengah sutuasi semacam itu lah petani kecil yang umumnya berada di desa-desa kecil, minim akses dan pendidikan pembelaan hukum atas hak-hak agrarianya, benar-benar membutuhkan tindakan paralegal untuk melakukan pembelaan-pembelaan yang mencukupi dan berpihak pada petani.

Pentingnya Paralegal

Paralegal seperti terdapat dalam buku ”Panduan pendidikan paralegal untuk perjuangan kaum tani” ini disebutkan sebagai, suatu tindakan awal untuk pendampingan petani secara non litigasi, yang tujuannya adalah untuk menyiasati minimnya pengacara yang dimiliki, minimnya pengetahuan petani tentang konflik agraria, dan pemberkasan data secara benar. Juga terkait dengan fungsi monitoring, nerumuskan konflik yang terjadi, dan bagaimana kekerasan harus diselesaikan sesegera mungkin dan menyiapkan antisipasi kekerasan lanjutan atau yang akan terjadi.

Buku yang ditulis oleh Gunawan beserta kontributor lainnya yaitu Rudi Kasrudi, Ridwan Darmawan, Janses E Sihaloho, Riando Tambunan Benedikty Sinaga, Ade Mutaaqin dan Ahmad fauzi ini menjadi terasa sangat penting kehadirannya karena buku ini memang ditulis untuk tujuan menyagkut pendidikan paralegal bagi petani dan pendamping petani. Sedangkan diluar tema dan tujuan utama itu, buku ini berbicara terkait masalah agraria, hak- hak petani dan kurikulum pendidikan paralegal untuk petani konflik.

Buku ini secara teknis bahasan maupun substansi isi benar-benar berhasil mencapai tingkat kesederhaannya yang tepat untuk petani tanpa meninggalkan fungsi intelektulilnya. Disamping membahas setiap topiknya dengan cara sederhana, ringkas, dan aplikatif dengan paparan diagram dan narasi tekstuil yang ringkas dan cergas, buku ”Panduan pendidikan paralegal untuk perjuangan kaum tani” ini sama sekali tak meninggalkan bobot kedalaman dan argumentasi intelektual ilmiahnya terkait dengan cara pandang tentang pentingnya dilakukan pembaruan agraria (agrarian reform) yang diantaranya meliputi redistribusi tanah untuk penggarap, penyelesaian konflik sengketa agrarian, ketahanan dan kedaulatan pangan, dan hak masayarakat atas air, laut dan pesisir. Isi buku ini memang berisi wacana, opini, paradigama teoritis terkait masalah isu-isu agrarian di Indonesia.

Secara teknis dan kerangka penulisan, buku ini memang merupakan sebuah “panduan” dan “pendidikan” paralegal untuk perjuangan kaum tani. Sebagai sebuah buku panduan dan pendidikan bagi petani, buku ini disusun dengan suatu cara penulisan yang lugas, jelas, difinitif dan merupakan suatu rangkuman (historis-metodologis) yang walau pun singkat, namun tetap tidak kehilangan kedalaman analisa dan latar belakang yang bersifat histories-paradigmatik dari setiap topik bahasan dan issu yang diangkat. Hal itu membuat buku yang disusun berdasarkan pengalaman riil para penulisnya ini, maupun praktik pendidikan yang sudah dilakukan oleh penulis, mau pun kelompok-kelompok yang terkait dalam penyusunan buku ini—menjadikan buku ini menjadi komprehensif dalam pemahaman dan aplikatif dalam kepentingannya baik oleh kaum petani maupun pendamping paralegal kasus-kasus agraria.

Dalam bab III tentang topik bahaasan “Konflik Agraria” misalnya, buku ini mengulasnya pertama-tama dengan menuyusun “anatomi konflik agraria” yang menjelaskan latar historis konflik agrarian di Indonesia, sebaran monitoring keseluruhan konflik agrarian (tersebar di 2.834 desa, 2355 Kecamatan, dan 286 kabupaten kota,) dengan rentang waktu munculnya kasus-kasus agrarian tersebut adalah sejak 1970-2001. luas tanah yang disengketakan dalam kasus-kasus tersebut tidak kurang dari 10.892.203 hektar, dan telah mengakibatkan setidaknya 1.189.482 KK menjadi korban. (Bab III/hlm. 29) Selanjutnya dengan paparan yang jelas, paradigmatic dan bersanadr pada laporan-laporan, data-data investigasi mendalam di lapangan yang mencukupi, topik ini dilanjutkan dengan table dan diagram serta pemetaan yang meliputi contoh-contoh konflik agrarian yang biasa muncul (petani kecil vs pengusaha, petani vs Negara atau pun perusahaan swasta,) Permasalahan dalam hubungan produksi mengenai mekanisme bagi hasil mau pun pengupahan, klasifikasi sektoral dalam konflik agraria yaitu, sektor pertambangan (bertambangan besar akbita kontrak karya dan pertambangan tanpa izin,) Sektor kehutanan akibat (dikeluarkannya izin HPH, hutan tanaman industri, penetapan hokum sebagai kawasan lindung, pengambilan hutan diwilayah adat,) Sektor perkebunan (izin HGU, Perkebunan inti rakyat/PIRBUN, nasionalisasi yang tidak tuntas, dan pengambilan tanah adapt untuk investasi modal besar,) Sektor pertanian (akibat pengoperasian corporate farming, alih fungsi konversi lahan pertanian,) Sektor kelautan dan pesisir (konflik wilayah tangkap, HP3, penetapan tapal batas, konflik kelola nelayan dan pariwisata, konflik petambak garam vs investor.) klasifikasi ini memudahkan pembaca untuk mengenali peta konflik agrarian dan memahami akar soalnya. (Hlm. 33-35)

Buku ini terasa tepat dan sedemikian penting karena hadir ditengah masih rawan dan banyaknya konflik/sengketa agraria yang mengakibatkan kriminalisasi terhadap petani. Fenomana kriminalisai yang rupanya melibatkan juga state apparatus yaitu hukum dan perangkat-perangkatnya yang selama ini memang tidak memihak kepada petani kecil. Kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani tidak bisa dipandang sebagai suatu kekerasan tanpa dasar, atau tanpa motif struktural. Kekerasan dan tindak kriminalisasi petani yang terus berlanjut itu sejatinya merupakan jalur panjang dari akibat kapitalisme global, budaya ekonomi neoliberal, dan watak ekspansif-eksploitatif kapitalisme, dan birokkratisme kapitalis.

Hal itu juga menunjukan kepada kita suatu kenyataan bahwa yang terjadi pasca runtuhnya rezim militer Orde Baru, rupanya bukanlah transisi demokrasi. melainkan reorganisasi modus operandi dan struktur penghisapan nasional dari kapitalisme internasional/internasionalisasi, yang tidak lagi mengandalkan rezim militer, tetapi prosedural demokrasi guna melegalkan praktek penghisapan kapitalisme internasional dan kriminalisasi perjuangan rakyat. Lebih jauh lagi, reorganisasi kapitalisme internasional tersebut tidak hanya akibat konflik (perjuangan kelas dan perang) dan over produksi, melainkan akibat over kapital. Yang ujungnya negara telah gagal menjalankan kewajibannya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat (warga negara Indonesia).

Bahkan perjuangan massa rakyat membela hak-hak dasarnya, telah ditanggapi oleh negara secara represif yang berdampak pada pelanggaran hak sipil-politik yang dilakukan negara dengan kekerasan (by violence) dan dengan hukum (judicial violence) dalam rangka melindungi penindasan modal (capital violence) dan praktek privatisasi serta komersialisasi sumber-sumber agraria dan liberalisasi perburuhan.

Atas fonemena itulah buku ini dirasakan sangat penting kehadirannya. Buku ini bisa jadi sebagai bahan panduan pendidikan bagi petani maupun orang yang melakukan upaya pembelaan hak-hak petani. Buku ini sangat penting untuk memberi informasi, pembelajaran, dan bekal tentang prinsip-prinsip, langkah-langkah maupun strategi yang dilakukan sesuai dengan kondisi-kondisi masing-masing yang berbeda dan tengah dihadapi.

Lebih dari itu, arti penting hadirnya buku ini juga karena yang dirulis bersama para aktor pendambing petani ini berhasil memotret dinamika organisasi tani sehingga memungkinkan upaya lebih jauh yang dapat dilakukan petani saat upaya hukum legal struktural tak lagi mencukupi dan memihak kepada petani kecil. Lebih-lebih upaya hukum legal bagi usaha penyelesaian sengketa agrarian seringkali bias, sehingga aksi-aksi dan tindakan paralegal demi menegakkan hukum yang berpihak pada petani terasa masih sangat penting dan dibutuhkan. Dan akhirnya selamat membaca, semoga mendapati manfaatnya.

* Sabiq Carebesth adalah Direktur pada Lingkar Studi Kebudayaan Indonesia (LSKI) Jakarta, dan bekerja sebagai Editor Publikasi Indhrra (Indonesian Secretariat for the Development of Human Resources in Rural Areas) Yayasan Bina Desa.

Sumber: http://m.kompas.com/news/read/data/2010.02.17.01250330

Artikel Terkait

0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...